Minggu, 19 Maret 2017

Tugas Epidemologi Perubahan pola penyakit diabetes melitus




Nama               :           Natasya Angelina
NIM                :           201566093
SESI                :           01

PERUBAHAN POLA PENYAKIT DIABETES MELITUS
            Gaya hidup modern dengan banyak pilihan menu makanan dan cara hidup yang
kurang sehat yang semakin menyebar keseluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penyakit degenerative. Diabetes Melitus (yang selanjutnya disingkat DM) merupakan salah satu penyakit degenerative (Krisnatuti, 2008).
           
            Penyakit Diabetes Melitus merupakan penyakit degeneratif yang sangat terkait dengan pola makan. Pola makan merupakan gambaran mengenai macam-macam, jumlah dan
komposisi bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh seseorang. Gaya hidup di perkotaan
dengan pola diet yang tinggi lemak, garam, dan gula, keseringan menghadiri resepsi/pesta,
mengakibatkan masyarakat cenderung mengkonsumsi makanan secara berlebihan
mengakibatkan berbagai penyakit termasuk DM. WHO memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada
tahun 2030.

SEJARAH PENYAKIT DIABETES MELITUS
            Pada 1552 SM (Sebelum Masehi), di Mesir dikenal penyakit yang ditandai dengan sering kencing dan dalam jumlah yang banyak (yang disebut dengan poliurial) serta penurunan berat M badan yang cepat tanpa disertai rasa nyeri. Kemudian pada 400 SM, seorang penulis India yang bernama Sushratha menyebut penyakit tersebut dengan “penyakit kencing madu” (honey urine disease).Nama penyakit tersebut dikenal luas di kalangan niasyarakat dunia dan sangat populer di kalangan medis pada masa itu. Seiring perjalanan waklu, pada 200 SM tersebutlah Aretaeus yang memberi nama penyakit tersebut dengan “diabetes mellitus”. Diabetes berarti “mengalir terus” dan Mellitus berarti “rnanis”. Penamaan tersebut berdasarkan ciri-ciri yang terjadi pada penderitanya. Disebut Diabetes karena penderita minum terus- menerus dan dalam jumlah yang banyak (atau polidipsia), yang kemudian “mengalir terus” berupa air seni (urine); sedangkanpenyebutan Mellitus berdasarkan pada fakta air seni penderita mengandung gula (manis).
Pada dasarnya, DM terjadi karena tubuh Anda kekurangan hormon insulin atau hormon insulin yang ada tidak mencukupi kebutuhan, atau tidak dapat bekerja normal. Padahal hormon insulin mempunyai peranan utama untuk mengatur kadar glukosa (= gula) di dalam darah menjadi sekitar 60-120 mg/ dL pada waktu puasa dan di bawah 200 mg/dL pada dua jam sesudah makan.
            Penyakit DM tercantum dalam urutan nomor empat dari prioritas penelitian nasional untuk penyakit degenerative setelah penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler, dan geriatrik (Krisnatuti,2008). Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah Diabetes Melitus tipe 2 (Sudoyo, 2007). Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.

            Indonesia berada diperingkat keempat jumlah penyandang DM di dunia setelah Amerika Serikat, India, dan Cina (Hans, 2008). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, angka prevalensi diabetes mellitus tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Barat dan Maluku Utara (masing-masing 11,1 persen), diikuti Riau (10,4 persen) dan NAD (8,5persen). Prevalensi diabetes mellitus terendah ada di pro vinsi Papua (1,7 persen), diikuti NTT (1,8persen). Prevalensi Diabetes di Sulawesi Utara berdasarkan profil kesehatan provinsi SULUT tahun 2008 di dapatkan angka lebih tinggi di tingkat provinsi SULUT(1,6%) daripada angka nasional(1,0%). Penyakit ini tersebar di seluruh kabupaten dan kota di SulawesiUtara,dengan prevalensi tertinggi di kota Manado.


Grafk diatas menunjukan  bahwa penyakit Diabetes Melitus di Indonesia mengalami peningkatan jumlah kematian pada tahun 1994, 1998, 2000, dan pada tahun 2010.


PERUBAHAN POLA PENYAKIT DAN KEMATIAN PADA PASIENHIPERTENSI

            Menurut Depkes RI (2001) mengemukakan terjadinya transisi epidemiologi penyakit ditunjukkan dengan adanya kecenderungan perubahan pola kesakitan dan pola penyakit yaitu adanya penurunan prevalensi penyakit infeksi, namun terjadi peningkatan prevalensi penyakit non-infeksi atau penyakit degeneratif seperti: hipertensi, stroke, kanker, diabetes melitus dan lain-lain. Selain itu perubahan gaya hidup (life style)masyarakat dan sosial ekonomi juga
dapat memicu semakin meningkatnya prevalensi penyekit degeneratif, di mana juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, salah satunya adalah hipertensi dan sering kali dijumpai tanpa gejala, walau relatif mudah diobati namun apabila tidak diobati akan menimbulkan komplikasi seperti Stroke, Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJP), Gangguan Ginjal dan lain-lain yang pada akhirnya dapat mengakibatkan cacat maupun kematian (Bustan, MN, 1995).
            Profil Kesehatan Sumatera Utara (2001) melaporkan bahwa prevalensi hipertensi di Sumatera Utara sebesar 91 per 100.000 penduduk, sebesar 8,21% pada kelompok umur di atas 60 tahun untuk penderita rawat jalan.Berdasarkan penyakit penyebab kematian pasien rawat inap di Rumah Sakit Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara, hipertensi menduduki peringkat pertama dengan proporsi kematian sebesar 27,02% (1.162 orang), pada kelompok umur ≥60 tahun sebesar 20,23% (1.349 orang).
            Di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan hipertensi termasuk ke dalam sepuluh penyakit terbesar dari penderita yang dirawat inap di bangsal penyakit dalam. Dari 400 penderita stroke yang dirawat di bangsal penyakit dalam pada tahun 1982-1985 38% menderita hipertensi (Sumartono dan Aryastamy, 1999).
            Hasil penelitian Hanim (2003) proporsi penderita hipertensi rawat inap di RSUP H.Adam Malik Medan adalah 1,78%, proporsi laki-laki lebih besar daripada perempuan yaitu sebesar 53,1%. Di wilayah kerja Puskesmas Pekan Labuhan, hipertensi merupakan rangking ketiga dari 10 penyakit terbesar yang dilaporkan dengan jumlah 1.776 pasien yang datang berobat selama tahun 2003. Jumlah kunjungan ke Puskesmas dari semua penyakit adalah 15.255 pasien, dengan demikian proporsi kunjungan penyakit hipertensi sebesar 11,64% (Puskesmas Pekan Labuhan, 2003).
                       
Grafik Penyebab kematian paling besar (WHO, 2005)

            Indonesia: 59,5% Kematian Akibat Penyakit Tak Menular, Termasuk Jantung

Di Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang ternyata masih berjuang menghadapi pelbagai masalah kesehatan. Penyakit infeksi masih menjadi prioritas utama dalam pembangunan kesehatan, di sisi lain perubahan gaya hidup yang serba cepat tidak menahan laju perkembangan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah. Hal ini diperkuat dengan data yang diperoleh pada tahun 2007, angka kematian akibat penyakit jantung dan tidak menular pada tahun 1995 sebesar 41,7% meningkat menjadi 59,5% pada tahun 2007.
Kalimantan Selatan “Juara Hipertensi”
Penyakit hipertensi sebagai salah satu “kawan” dari penyakit jantung, ternyata dinilai cukup tinggi di Indonesia. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, angka kejadian atau prevalensi penduduk Indonesia berusia di atas 18 tahun dengan hipertensi adalah sebesar 31,7%. Ternyata hipertensi tidak hanya terjadi pada penduduk berusia di atas 18 tahun, namun juga pada penduduk berusia 15-17 tahun. Jika dilihat berdasarkan kriteria hipertensi sesuai JNC VII, terdapat 4050 (8,4%) penduduk berusia 15-17 tahun dengan hipertensi. Prevalensi hipertensi tertinggi berdasarkan provinsi terdapat di Kalimantan Selatan (39,6%), dan terendah di Papua Barat (20,1%).
Hasil dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 memperlihatkan bahwa prevalensi beberapa penyakit jantung dan pembuluh darah seperti hipertensi sangat tinggi yaitu 31,7%, diikuti stroke sebesar 8,3% dan penyakit jantung sebesear 7,2% per 1.000 penduduk.

Aceh “Juara Stroke”

Penyakit kardiovaskular juga erat kaitannya dengan penyakit stroke. Di Indonesia, angka prevalensi stroke juga cukup tinggi yaitu sekitar 72,3%, dengan provinsi Aceh menduduki angka prevalensi tertinggi yaitu 16,6% dan terendah di Papua (3,8%).
Data Riskesdas memperlihatkan bahwa penyebab kematian utama untuk semua umur adalah stroke (15,4%), hipertensi (6,8%), penyakit jantung iskemik (5,1%), dan penyakit jantung lainya (4,6%). Angka kematian pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan akibat stroke sebesar 15,9%, kemudian penyakit jantung sistemik sebesar 8,7% dan hipertensi serta penyakit jantung lainya sebesar 7,1%. Sementara itu di pedesaaan, angka kematian tertinggi diakibatkan oleh penyakit menular yaitu tuberkulosis (TBC) diikuti oleh stroke sebesar 11,5% dan hipertensi 9,2% dan penyakit jantung iskemik 8,8%.
Pada penduduk usia 55-64 tahun yang tinggal di daerah perkotaan, stroke tetap menjadi penyebab kematian utama (26,8%), kemudian penyakit jantung iskemik (5,8%), hipertensi (8,1%), dan penyakit jantung lainnya (4,7%).
Bagaimana dengan penduduk di pedesaan? Ternyata pola penyebab kematian di pedesaan dan perkotaan menunjukkan pola yang serupa dengan stroke (17,8%) sebagai penyebab kematian utama, diikuti oleh beberapa penyebab lain antara lain hipertensi (11,4%), penyakit jantung iskemik (5,7%), dan penyakit jantung lain (5,1%).
Daftar pustaka

Roupa, dkk. (2009). Health science journal.

http://www.hsj.gr/ volume3/issue1/35.pdf.

Bustan, M. N., 1995. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. PT. Rineka Cipta, Jakarta

Prodjosudjadi, W., 2000. Hipertensi, Berkala Neurosains, Vol 1, No.3: 133-139 Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar